Industri pop musik Indonesia dimulai dari industri piringan hitam terjadi dari mulai tahu 40 an, 50 an sampai memasuki tahun 60an
Industri piringan hitam ini di Indonesia maupun di dunia internasional dalam produksi maupun pemasarannya sangat bagus sehingga imbalan yang diberikan kepada para seniman berupa imbalan royalty sangat transparan dan dapat dipertanggung jawabkan dengan sangat baik.
Umpamanya saja imbalan yang diberikan kepada seniman sudah ditentukan secara format internasional, bahwa semua pembayaran berdasarkan penjualan dari banyaknya piringan hitam yang terjual, dan persentase hasil penjualan untuk para seniman itupun sudah diatur, yaitu penyanyi mendapatkan sekitar 9%, pemusik dan arranger sekitar 18%, dan pencipta lagu mendapatkan 9% dari piringan hitam yang terjual.
Begitu juga dalam pemasarannya atau distribusinya, piringan hitam itu tidak ada sistem konsinyasi atau dapat diretur, jadi semua piringan hitam yang diorder oleh toko harus dibayar lunas dan tidak bisa diretur. Dan kalau stok toko habis baru bisa direpeat dan harus dibayar lunas saat itu juga.
Tetapi pada waktu industri musik di Indonesia mengalami perubahan teknologi dari produk piringan hitam menjadi produk kaset maka mulailah terjadi banyak perubahan besar, dan perubahan ini membuat industri musik menjadi tidak beraturan. Umpamanya dalam hal imbalan pada seniman, mulai tidak lagi bisa dikaitkan dengan system royalty karena dalam industri musik kaset ini mulai terjadi namanya sistem konsinyasi, yaitu jika agen mengorder berapa banyak jumlah kaset yang dipesan, itu bisa terjadi istilah konsinyasi atau dapat dipulangkan ( diretur ) yang tidak terjual. Dan juga dalam kaitan dalam sistem pembayaran dari agen kepada distributor itu mulai terjadi dengan pembayaran giro, cek yang berupa cek mundur dalam jangka waktu 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan yang tidak dipastikan bahwa cek ini pada waktunya bisa cair dan kadang-kadang juga cek ini kosong.
Apalagi cek itu sendiri kadang-kadang sudah berpindah tangan dari distributor, dituker cash kepada beberapa orang dan bisa menjadi masalah jika ternyata pada akhirnya cek itu kosong.
Karena industri kaset ini juga ada sistem yang bisa direkam ulang, jadi kaset yang diretur ( yg tidak terjual) bisa diisi ulang lagi dengan namanya sistem low speed itu biasanya dipakai sistem rekaman dengan berpuluh – puluh atau beratus – ratus tape deck.
Dan ini adalah sistem cikal bakal mulai adanya pembajakan, jadi boleh dibilang pembajakan dimulai dari system low speed ini.
Banyak sekali pengusaha yang menjadi perusahaan rekaman tetapi juga pengusaha yang mendirikan pabrik kaset seperti BASF, HDX, P.T Muray, dll
Dalam pelaksanannya low speed ini juga merupakan perusahaan – perusahaan yang menerima order dari perusahaan rekaman, baik yang legal maupun tidak legal. Sedangkan di pabrik kaset sendiri sudah menggunakan sistem perekaman dengan sistem high speed dimana 1 menit proses bisa memproduksi 80 kaset.